Praktek korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola yaitu dari yang melibatkan birokrasi, kepala daerah dan wakil rakyat ke pihak dengan actor yang hampir sama namun dengan perluasan cakupan keterlibatan. Perluasan cakupan keterlibatan ini sebenarnya terkait dengan sifat korupsi dari yang personal dan atau berjamaah ke sistematik terorganisir. Artinya bahwa awalnya pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2009, korupsi yang melibatkan aktornya hanya berkaitan dengan pemuasan syahwat politik individual birokrasi atau kepala daerah bersangkutan.
Korupsi yang dilakukan wakil rakyat terjadi
dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki dalam hak budgeting sebagai
lembaga legislative, namun pemanfaatan tersebut tidak dapat dikatakan
bahwa lembaganya yang korup. Karena dengan hak budgeting yang dimiliki,
anggota DPRD menginginkan tambahan pendapatan yang seolah-olah sah.
Tambahan pendapatan dengan menganggarkan dalam APBD menjadi bentuk
manipulasi anggaran. Korupsi yang berwatak individual inilah mengalami
pergeseran pola pasca 2009.
Sebagaimana yang terungkap dalam kasus-kasus
korupsi yang melibatkan 2 partai koalisi yaitu Nazaruddin dan Hambalang
untuk Partai Demokrat, atau suap impor daging sapi untuk PKS adalah
bentuk korupsi politik yang sistematif terorganisir. Bahkan apabila
merujuk kasus korupsi PPID sebelumnya yang melibatkan kader PAN juga
dapat menjadi referensi korupsi politik. Korupsi politik disini adalah
korupsi yang dilakukan dengan mengambil keuntungan dari APBN/D untuk
kepentingan pengelolaan mesin politik partai.
Dalam hal ini, korupsi yang dilakukan oleh DPR/D
tidak semata untuk kepentingan pribadi anggota yang melakukan korupsi.
Dana korupsi mengalir ke pihak-pihak lain baik sesama anggota dewan atau
pengurus partai politik. Aliran dana tersebut kemudian diperuntukkan
untuk mengelola dan menjalankan organisasi partai, memenuhi kebutuhan
partai termasuk biaya konsolidasi dalam memperkuat organisasi partai di
aras propinsi maupun kota/kabupaten. Dengan kata lain, korupsi politik
merupakan korupsi yang dilakukan oleh partai politik melalui
anggota-anggotanya yang duduk sebagai anggota legislative maupun
eksekutif.
Korupsi politik dilakukan dengan kesadaran untuk
membantu partai politik tempat dimana anggota legislative atau eksekutif
(menteri/kepala daerah) bernaung sebagai bentuk kompensasi politik
terhadap partai. Kompensasi politik dimaksud adalah jabatan yang
sekarang diraih sebagai legislative dan eksekutif tidak terlepas dari
peran partai yang mencalonkan atau menominasikan untuk menjadi DPR/D
atau menteri/kepala daerah. Niat melakukan korupsi untuk mengembangkan
mesin partai dalam mempertahankan kekuasaan atau menambah kekuasaan yang
sudah dalam genggaman.
Korupsi politik tidak bisa dilepaskan dari biaya
politik tinggi dalam mengelola partai politik.
Ditengah pragmatisme
politik konstituen, biaya politik menjadi keniscayaan yang harus
dikeluarkan untuk meraih massa atau memperluas basis dukungan partai.
Konstituen saat ini tidak mempan hanya diiming-imingi ideology atau
program partai. Mereka juga butuh ‘fresh money’ sebagai kompensasi dukungan terhadap partai politik yang bersangkutan. Biaya politik telah menciptakan politik yang korup.
Politik korupsi menjadi gambaran dari politik
Indonesia, dimana parpol menjadi tiang demokrasi telah mengalami
pembusukan. Pembusukan yang menimbulkan kerapuhan apabila tidak segera
dibenahi akan meruntuhkan bangunan demokrasi yang sudah dibangun dengan
susah payah. Partai politik tidak memperkuat pelembagaan demokrasi yang
sehat dan jujur, namun menjadi bagian dari masalah demokrasi itu
sendiri. Politik korupsi menjadi wacana actual khas Indonesia dengan
menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah
korupsi untuk mengeruk uang rakyat. Partai politik tidak berpikir untuk
mengelola APBN/D dengan baik sehingga bisa untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Parpol hanya berpikir berapa prosentasi yang bisa
diambil dan didistribusikan untuk biaya politik partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar